Tiket Becak 99 (Part III) Lomba Cerpen Fantasy Fiesta 2011

Juni 23, 2011 pukul 1:06 am | Ditulis dalam Uncategorized | Tinggalkan komentar
Tag: , , , ,

Seto masih tidak begitu yakin tentang apa yang ia alami. Diperhatikannya sekelilingnya, semua tampak asli. Tidak. Semuanya asli. Hembusan angin malam, suara jangkrik, langit dan bintang serta sinar bulan, semuanya sama. “Sebenarnya?”

“Kakak?” sesosok gadis kecil berdiri tepat di belakang Seto.

Seto berbalik. “Oh, kamu dek. Ada apa? Nggak nemenin ayahmu di tenda?” tanya Seto.

“Mmm…, ayah udah ada temennya di tenda. Lagipula ayah udah bisa ngobrol,” jawab gadis itu.

“Tapi kan udah malem, tidur gih sana,” pinta Seto dengan lembut.

“Nanti aja. Aku mau ngucapin terima kasih pada Kakak. Udah ngalahin nenek itu,” kata gadis kecil itu dengan penuh semangat.

Seto hanya senyum tipis. “Ehehehe, kakak juga nggak tau. Kayak mimpi saja,”

“Memang mimpi kok, Kak,” jawab gadis itu. “Orang-orang di desa punya mimpi yang sama. Bisa hidup tenang tanpa nenek jahat itu lagi,”

“Benarkah? Memangnya sudah berapa lama nenek itu ganggu kamu terus?” tanya Seto.

“Udah lama. Waktu Kiky kecil nenek itu suka usil, jahat lagi. Tapi, mimpi kami terwujud karena Kakak. Makasih ya Kak,” gadis kecil itu tersenyum lebar kemudian berlari meninggalkan Seto sendirian.

“Mimpi.., yang terwujudkan? Masa sih?”

***

Pagi-pagi sekali sudah terdengar hiruk pikuk penduduk desa yang membangun rumah-rumah yang hancur diserang nenek ‘Kisut’ beberapa hari yang lalu. Sedikit mengusik tidur, Seto pun terbangun. Matanya menerawang di balik celah tenda yang terbuka. “Masih di alam ini. Apa benar aku benar-benar pindah ke dunia mimpiku sendiri?”

“Ooy! Masih siang juga ya bangunnya?” sapa Roni dari balik tenda.

“Eh? Masih awal juga lo bangun,” balas Seto.

“Ehehe, kan emang begitu tiap hari. Yok, bantu-bantu warga. Lo kan bisa gerak-gerakin bumi. Pasti lebih enteng bangun rumah-rumah yang udah hancur,” ajak Roni.

“Em…, iya deh,”

Dengan sedikit malas, Seto keluar dari tenda. Matanya terbelalak melihat desa yang tadinya luluh lantak, dalam waktu beberapa jam saja sudah hampir seperti semula. Yang terlihat hanya perbaikan-perbaikan kecil saja.

“Ron, gue tidur lebih dari satu minggu ya?” tanya Seto tidak percaya.

“Nggak kok. Kaget ya?” tanya Roni.

Seto mengangguk.

“Sama. Saat gue bangun juga udah kayak gini. Ajaib banget,” komentar Roni.

Tak jauh dari tempat mereka, Seto dan Roni mendapati ayah dari gadis kecil semalam, yang terkena bola api tadi sedang menggunakan jurus yang hampir sama dengan Seto. Bedanya, ia hanya bisa menggerakkan bahan bangunan yang terbuat dari pasir dan batu dalam jumlah kecil pada saat bersamaan.

Seto kemudia melihat di sekelilingnya. Hampir semua pria di desa itu mampu menggunakan jurus yang sama. “Waw, kok bisa ya?” komentar Seto,

“Eh, Set. Coba lu liat yang di atas,” perintah Roni sambil menunjuk ke arah benda yang sedang melayang.

“Hah! Helikopter? Buset, zaman kayak gini udah ada?” Seto tak percaya melihat ada beberapa buah benda mirip helikopter lalu lalang di udara sambil membawa kayu-kayu besar.

“Helikopter? Maksudmu mesin terbang yang ada baling-balingnya?” kata Roni meyakinkan.

“Iya. Kok ada sih di sini?”

“Hm, gak juga kali Set. Coba lu liat penggerak baling-balingnya,”

Seto mempertajam penglihatannya. Di dalam kendaraan itu ada tiga orang. Satu memegang kemudi dan dua lainya menggerakkan baling-baling dengan kemampuan pengendalian udara. “Hebat,”

“Hm, sepertinya di desa ini canggih-canggih semua,” komentar Roni.

“Eh eh, masa?” tanya Seto tidak percaya.

“Coba liat di ujung sana,” Roni menunjuk ke sebuah atap bangunan rumah yang tingginya sekitar tiga lantai terpasang seperti peralatan parabola. “Dan itu,” kini Roni menunjuk sebuah alat pengangkut yang sedang membawa bongkahan batu besar dengan mudahnya. “Hm…, dan yang satu itu,” kini Roni menunjuk ke arah belakang. Sebuah kandang raksasa berisi hewan seperti gorila menjadi penghuninya. Penduduk desa dengan mudah menggiring dan menyuruhnya untuk melakukan apa yang dikehendaki.

“Canggih bener, tapi tradisional,” komentar Seto.

“Hm, mereka memiliki potensi yang sangat besar. Tapi, kok bisa mereka bisa hancur gara-gara nenek ‘Kisut’ itu? Padahal mereka punya peralatan yang bisa dengan mudahnya mereka pakai,” tambah Roni.

“Benar,” Seto membatin. “Kenapa mereka yang punya semua ini bisa takluk?”

“Ah, pahlawan Kita ada di sini!” sorak seorang penduduk desa.

Dalam waktu singkat, Seto dan Roni dikelilingi oleh warga desa. Kegiatan mereka hentikan hanya untuk menyalami mereka berdua.

“Sudah sudah, jangan berlebihan. Kemaren kan udah,” sahut Roni malu-malu.

“Tidak apa-apa. Kami terima kasih sekali kalian mau membantu Kami,” jawab seorang penduduk desa.

“Iya, Kami sudah menunggu ramalan ini terjadi,” tambah satunya lagi.

“Ramalan?” kata Seto dan Roni bersamaan.

“Iya. Seorang peramal mengatakan pada Kami bahwa desa Kami akan terus diteror oleh nenek penyihir dan akan berhenti jika ada dua orang pemuda hebat yang bisa menggunakan tanah dan air untuk melawannya,” jawab ayah sang gadis.

“Tapi, kalian kan sudah punya semua ini. Ku kira ini semua sudah lebih dari cukup untuk mengalahkan nenek itu!” komentar Seto.

“Tidak bisa! Kalau kami lawan, percuma saja!” jawab si ayah.

“Sudah pernah dicoba?” tanya Roni.

“Sudah, sekali kami mencoba dan hasilnya kami gagal. Banyak yang mati,”

“Memangnya, kapan kalian mencoba?” tanya Seto.

“Bukan Kami. Tapi kakek buyut Kami,”

“APA?” Seto dan Roni terbelalak.

“Oleh karenanya, leluhur Kami mengajarkan teknik untuk merenovasi rumah dan desa secara cepat agar Kami dapat bisa hidup dengan tenang,” jawab si ayah. “Tapi kali ini Kami akan lebih tenang sebab tidak akan ada teror dari nenek,”

Seto terdiam. Seolah ada yang menusuk di hatinya.

“Kalian…,” Seto menggumam.

“Ada apa?” tanya si ayah.

“DASAR BEGOOO…!” Seto mencengkram kerah baju si ayah dan mendorongnya ke dinding. Roni dan warga lainnya hanya bisa diam melihatnya.

“Apa-apan nih?” protes si ayah.

“Kalian ini bagaimana sih? Masa dengan apa yang kalian punya, ga’ berani ngelawan si nenek? Si nenek cuma bisa ngeluarin api satu persatu dari tangannya. Tapi kalian dalam waktu sekejap sudah bisa membangun desa kalian dengan megah kembali, BERSAMA-SAMA!”

“Apa yang sebenarnya mau Kamu katakan?” si ayah mulai tidak suka dengan sikap Seto.
“KALIAN PECUNDANG! Pengecut! Hanya karena gagal berusaha dalam pertama, bahkan itu dilakukan kakek buyut kalian? Sudah menyerah begini? Hanya mengharapkan ramalan? Kalau begitu sih sampai mampus seluruh penduduk desa mungkin ga’ akan terwujud!”

Si ayah terdiam. Roni dan yang lainnya juga.

“Aku tidak menyangka, orang-orang yang memiliki potensi seperti ini, begitu mudah menyerah. Takluk pada omongan tidak benar. Mudah menyerah dan payah,”

“Mudah menyerah dan payah,” kata si ayah mengulang kata Seto.

Tiba-tiba si ayah berubah wajahnya menjadi Seto. “Mudah menyerah dan payah, itu kan dirimu juga,” jawabnya.
Seto terdiam. Kepalanya terasa berat. Sakit rasanya. Matanya berkunang-kunang. Ia lalu tersungkur. Bisa dilihatnya seluruh warga desa wajahnya serupa dengannya. Hanya Roni yang tetap dan kemudian memudar, hilang bagaikan asap. Nafas Seto semakin berat, sekujur tubuhnya basah oleh keringat dingin.

***

Banyak orang beridiri di tepi sungai. Walau hujan masih lebat, tidak menghalangi warga untuk melihat lokasi kejadian kecelakaan. Sebuah bus remnya blong dan menabrak mikrolet sampat tercebur ke sungai. Semua korban selamat, tapi tinggal satu belum ditemukan, Seto.

Seorang pemuda kemudian terjun ke sungai. Padahal sudah ada tim SAR yang mencari Seto di dalam air. Tanpa peralatan selam pemuda itu terus menyelam ke tempat satu ke tempat lainnya yang dekat dengan lokasi kejadian.
Tim SAR berulang kali meneriakinya agar berhenti karena arus sungai semakin deras dan kemungkinannya Seto sudah terbawa arus. Tapi ia bersikeras bahwa Seto masih di dekat situ.

Roni, nama pemuda itu. Tertulis di bajunya berwarna biru hitam itu. Kembali menyelam, kini agak lama. Hampir satu menit, belum muncul juga. Dua menit kemudian, ia kembali ke permukaan. Ia berenang ke tepi sungai. Seto sudah ditemukannya. Masih hidup.

Warga bersorak-sorai melihatnya. Tim SAR tertegun. “Hey, masih hidup rupanya,” komentar Roni.

“Masih dong,” Seto tersenyum. “Ternyata, walau punya kemampuan tapi ga dipakai, sia-sia juga hasilnya,”

“Ngomong apa sih lo?”

“Tuh? Lu kan mantan diver yang milih jurusan teknik
informatika. Akhirnya lu pake juga kemampuan lu buat nyari gue,” jawab Seto. Walau tenggelam beberapa menit, entah kenapa bicaranya masih lancar.

“Hah, ngawur lo! Kemampuan walau cuma sebiji tapi dipake maksimal, hasilnya segunung bro! Emangnya pas Pak Mi’un ceramah lu gak denger?”

“Eheheh…, tidur,”

“Parah!”

Hujan masih deras. Tim SAR menyalami Roni atas keberhasilannya, warga makin ramai berdiri di tepian sungai. Samar-samar, Seto melihat di kerumunan warga, tukang becak bernomor 99 melambai ke arahnya. Seto membalasnya dengan senyuman. Si tukang becak lantas mengayuh becaknya lagi. Meninggalkan kerumunan.

“Hm, becak nomer 99. Apaan tuh?”

TAMAT

Tiket Becak 99 (Part II) Lomba Cerpen Fantasy Fiesta 2011

Juni 23, 2011 pukul 1:02 am | Ditulis dalam Uncategorized | Tinggalkan komentar
Tag: , , , ,

Walau cuaca mendung, hati Seto tetap panas. Hatinya tidak habis berkeluh kesah. Hari ini diawali dengan pengalaman yang tidak mengenakan dari teman satu kamarnya. Laptopnya rusak karena virus dari laptop Azhari. Ditambah lagi ia harus membuat ulang slide presentasi untuk tugasnya besok. Belum lagi tugas kuliah dari dosen-dosen lainnya dan tentunya bermacam rupa pula. Kebanyakan membuat program dan presentasi, Seto memang mahasiswa teknik komputer, tapi dia juga manusia biasa, tidak mampu mengerjakan semua pekerjaan dalam waktu semalam.

“Hah, seandainya aku hidup di dunia yang mudah-mudah semua. Tanpa cobaan, tanpa tugas kuliah, tanpa serangan virus Azhari, hm…,” gundahnya dalam hati.

Pikirannya kemudian ia bawa lari ke dalam mimpinya tadi malam. Menjadi pendekar yang dapat bermanfaat bagi orang banyak. Dan tentunya kemahiran tingkat tinggi pula, sehingga segala masalah dan musuh-musuh tidak masalah baginya.

Langkah lesu Seto terhenti di sebuah kantin di depan kampusnya. Perutnya lapar karena tadi pagi belum sempat sarapan. Sajian makanan yang sudah biasa ia lihat, kini terasa menggiurkan. “Nasi lengkap, Bu. Satu porsi,” pesan Seto.

“Oke, Bos!” jawab pemilik kantin. Dengan sigap seporsi nasi lengkap sudah dihadapan Seto. “Tujuh rebu!” tagih si empunya.

“Yaelah, Bu. Kayak nggak percaya aja sama Saya?” Seto lantas meraba saku celananya. “Lho? Kok nggak ada?”

Seto semakin gerilya memeriksa seluruh saku celana dan bajunya hingga didapatinya saku celananya sudah bolong. Disilet orang, entah kapan dan dimana. Dompet berisi uang untuk hidup selama seminggu di kos hilang sudah.

Wajah Seto memucat. Matanya memerah. Setitik air mata mulai menghiasi matanya.

“Kenapa? Kok mewek?” tanya si empunya kantin.

“Dom.., dompet Saya ilang…,” jawab Seto sayu.

“Ya udah. Ga’ usah makan di sini! No money, no makan!” si empunya lantas menarik nasi dari hadapan Seto.

“Emaaaaak…!” Seto lari dari kantin dengan berlinang air mata, menuju halte di dekat kampusnya. Tempat para tukang bejak ikut-ikutan mencari penumpang.

Orang-orang yang ada di situ tersenyum dan ada yang tertawa melihat tingkah Seno yang seperti anak kecil. Menangis sambil berteriak-teriak. “Kenapa nasibku seperti ini? Apa salahku? Kenapa Aku tidak pernah merasakan setitik pun kesenangan yang ku inginkan?” teriak Seto sekuat-kuatnya.

***

Langit semakin gelap. Hujan mulai turun perlahan kemudian melebat. Seto masih ada di situ. Ia membiarkan dirinya dibasahi hujan. Ini bagaikan akhir dunia. Sudah tidak berarti. “Seandainya, aku bisa pergi dari dunia ini?” keluhnya dalam hati.

“Mau pergi dari dunia ini?” tiba-tiba sebuah suara mengagetkan seto. Arahnya dari belakang.
Seto berbalik badan dan mendapati seorang pengendara becak, lengkap dengan becaknya yang bertuliskan 99 di sisi tempat duduk penumpangnya.

“Bukan urusan Kamu,” jawab Seto.

“Ya tentu urusan Saya dong. Kan, Saya bisa mengantar Kamu ke sana,” jawab si tukang becak percaya diri.

“Lu tau apa sih? Gangguin aja!” Seto lantas menghampiri tukang becak itu dan mencengkram kerah bajunya.

“Dapat!” ucap si tukang becak. Dengan kuat si tukang becak balik mencengkram kerah baju Seto dan dengan mudahnya mengangkatnya ke kursi penumpang di depannya.

“Eh, apa-apan nih?’ protes Seto.

Tukang becak tidak memedulikan protes Seto, dengan kuatnya becak sudah melaju kencang. Semakin lama becak semakin dekat dengan sungai. Tukang becak tidak terlihat akan berbelok atau mengerem. Sebentar saja becak sudah berada di bibir sungai. Becak dan Seto serta sang pengemudinya pun jatuh ke sungai. Dapat terasa oleh Seto dinginnya air sungai tersebut. Tubuhnya yang sudah tidak berdaya di dalam air membuat nuansa tenang di hatinya.

“Mungkin ada benarnya kata tukang becak tadi. Dia tahu kalau kematian bisa membuatku terbebas dari semua ini,”.
Perlahan Seto menutup matanya. Membiarkan tubuhnya tenggelam ke dasar sungai. Kebebasan dan ketenangan menyeruak dalam hatinya, hingga ia tersadarkan oleh guncangan hebat tubuhnya.

“Kak, bangun! Jangan mati, Kak!”

“Suara anak kecil? Cewek lagi,” Seto membuka matanya. Didapatinya gadis kecil yang ia selamatkan dalam mimpi berdiri di sampingnya. “Kok? Kenapa masih di sini?”

“Kata Kakak nggak usah kemana-mana,” jawab gadis kecil itu.

“Eh, tapi kan?” Seto masih kebingungan.

“Eh, Seto! Bantuin gue napa? Gue udah babak belur nih dihajar si nenek,” teriak rekannya yang berkacamata bening itu dari kejauhan.

Seto menatap lagi ke arah gadis tadi. Dapat ia rasakan tatapan yang penuh harapan darinya. Dipejamkannya matanya sebentar dan dibukanya lagi. Keadaan masih sama. Tak berapa lama, Seto mengambil kuda-kuda kembali, sama dalam mimpinya tadi. “Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku merasa bersemangat,” batinnya.

“Jurus penggenggam BUMI!”

***

Hari ini penduduk desa bersuka cita. Peneror kampung halaman mereka sudah musnah. Seto dan temannya yang telah menyelamatkan desa mereka. Penduduk yang tersisa masih banyak, namun jumlah korban tewas juga tidak sedikit.

“Eh, lu beneran Roni kan?” tanya Seto kepada rekannya yang hampir sekujur tubuhnya diperban.

“Kurang ajar lo!” sebuah pukul mendarat telak di bokong Seto. “Lu kok lupa nama gue? Apa gara-gara dilempar bola api si nenek itu? Hah, mana gue dibiarin babak belur lagi,” protes rekannya, Roni.

“Oh ternyata benar, Roni,” kata Seto membatin. “Eh? Ini bukan mimpi kan?’

Sebuah pukulan kembali mendarat ke tempat yang sama.

“Aduh? Apa-apan sih lo, Ron?”

“Sakit, nggak?’

“Sakit dong!”

“Emang mimpi bisa sakit?”

“Nggak,”

“Nah, lu tau sendiri,”

Sekali lagi sebuah kebingungan menghampiri Seto. “Ada apa ini? Apa benar permintaanku terkabulkan? Oleh tukang becak?”

Kebingungan Seto seolah tidak menyurutkan upacara ucapan terima kasih penduduk desa terhadap kedua pemuda asing tersebut. Kegiatan terus berlanjut hingga menjelang malam, dan acara pun selesai. Penduduk desa kembali ke tenda-tenda darurat masing-masing. Rencananya, besok akan diadakan pembangunan kemabali.

Tiket Becak 99 (Part I) Lomba Cerpen Fantasy Fiesta 2011

Juni 23, 2011 pukul 1:00 am | Ditulis dalam Uncategorized | Tinggalkan komentar
Tag: , , , ,

Langit malam yang gelap tiba-tiba berubah menjadi terang benderang. Bola-bola api yang tidak terkira jumlahnya menghiasi langit sebuah desa kecil di pinggiran hutan. Kesunyian malam berubah menjadi paduan suara yang menyayat hati. Teriakan kesakitan dan ketakutan membahana dari penjuru desa. Yang masih bisa berlari bergegas menyelamatkan diri, yang sudah terluka parah hanya bisa menunggu ajal menjemput.

Semakin lama bola-bola api semakin banyak berjatuhan. Tidak jelas apa atau siapa yang mengirim bola-bola api tersebut. Yang pasti, selama masih ada penduduk yang bisa berlari menyelamatkan diri, maka sebanyak itulah bola-bola api tersebut bermunculan dari langit dan menghantam desa tersebut.

“Nak, pegang yang erat tangan Ayah! Jangan dilepas!” seorang pria paruh baya mengenggam erat tangan putrinya yang berusia sekitar 10 tahunan itu, berlari melintasi rumah-rumah dan mayat-mayat yang terbakar di sepanjang jalan.
Gadis kecil itu hanya diam dan ikut berlari dengan ayahnya. Wajahnya tegang dan diselimuti dengan arang hitam dari abu rumah yang beterbangan. Naas, sebuah bola api menghantam punggung ayahnya. Genggaman tangan mereka terlepas, si ayah langsung tersungkur tak bergerak sedangkan sang anak pun ikut juga terjatuh. Dihampirinya ayahnya yang punggungnya masih terbakar sedangkan mulutnya terus mengeluarkan darah. Sang anak berusaha sekuat tenaga memadamkan api yang masih membakar baju ayahnya hingga tangannya yang mungil itu ikut juga terbakar.
“Cccsshhh…,” tiba-tiba air menyirami punggung si ayah. Api pun padam.

Sang anak langsung menoleh ke arah datangnya air tersebut. Didapatinya dua orang pemuda mengenakan pakaian serba hitam serta rompi tebal yang menyelimuti tubuhnya. Satu pemuda berkacamata hitam, sedangkan yang satunya lagi berkacamata bening.

“Hm, sepertinya ini ulah si nenek tua itu lagi,” komentar pemuda yang berkacamata hitam.

“Nenek yang mana?” tanya pemuda yang berkacamata bening.

“Nenek mana lagi yang suka main api selain nenek Sate?”

“Ya sudahlah, jangan dibahas nenek siapa yang sedang berulah. Lebih baik Kita ambil bagian dalam pesta ini,”

“Pesta katamu?” pemuda berkacamata hitam itu lantas melepaskan kacamatanya dan menatap ke arah anak perempuan yang tadi. “Nak, pergilah. Ayahmu akan baik-baik saja,”
Sang anak tidak mau beranjak. Ia tetap di samping tubuh ayahnya, tidak tahu apakah masih bernyawa atau tidak.
“Biarkan saja, Seto. Ini tidak akan berlangsung lama,” pemuda berkacamata bening itu lantas memasang kuda-kuda dan mengangkat tangan kirinya ke atas. Air yang berada di dekatnya lantas berkumpul di dekat telapak tangannya dengan cepat. “Jurus bola air!” Bola tersebut lantas terbang cepat ke udara dan meledak dengan dahsyat. Hujan buatan pun turun dengan lebat dan menyirami desa yang terbakar itu.

“Okelah, Kita akhiri segera,” pemuda berkacamata hitam tadi yang dipanggil Seto memasang kuda-kuda dengan kuatnya. Ia hentakkan kaki kanannya ke tanah dan melayanglah sebongkah batu besar yang ada di dekatnya. Kemudian tangan kanannya ia hentakkan ke depan seperti meninju udara, batu itu melayang dan menghantam sebuah objek tak terlihat. “Kena!” serunya.

“Gedebuuk…!” sesosok jatuh dari langit. Bajunya hitam panjang dan rambutnya beruban dan panjang. Ketika ia bangkit, nampaklah wajah wanita tua yang menyeramkan.

“Wah, ternyata bukan nenek Sate, tapi nenek Kisut,” kata Seto sedikit kaget.

“Hah? Nenek apa?” tanya temannya bingung.

“Kurang ajar! Kalian selalu mengangguku!” si nenek ‘Kisut’ itu lantas menciptakan bola api dari kepalan tangannya dan langsung meluncurkannya ke arah Seto.

“Kakak, awas!” teriak si anak tadi.
Kali ini tak terelakkan lagi. Bola api telak menghantam wajah Seto dan ia pun langsung terjerembab ke tanah.
Darah segar mengalir dari mulutnya. Sakit. Sakit sekali rasanya.

“Sakit, sakit banget,” komentar Seto sambil mengelus-elus mukanya.

“Kalau nggak mau sakit, ayo bangun!” teriak rekannya.

“Eh? Apa?” si Seto kebingungan.

“Yee, nih anak! Bangun, udah jam tujuh nih. Kamu kuliah nggak sih?” teriak rekannya itu setengah berteriak.

“Woalah? Kuliah? Eh jadi cuma mimpi?” Seto semakin bingung apa yang terjadi.

“Iyaaa! Cepet kuliah sana, sebelum ibu kos marah!” dengan sekali tendangan Seto langsung masuk kamar mandi.

“Jadi? Cuma mimpi? Hah…,”

***

“Seto, jangan lupa besok Kita presentasi tuh. Power point-nya udah kamu buat belum?” tanya seorang gadis dengan rambut sebahu, Ratna namanya.

“Hm, sudah. Tuh, di dalam laptop gue. Lu copy aja sendiri,” kata Seto sambil menunjuk laptopnya yang tergeletak di atas meja.

“Oke, bos. Nama file-nya apaan?” tanya Ratna

“Tugas Mandiri di dalam folder Tugas Kelompok,”

“Eh? Kok di dalam folder Tugas Kelompok?”

“Biarin! Gue yang buat, laptop juga laptop gue!”

“Huh, cepet amat emosian? Bisa memperpendek umur, lho!”

“Biarin!”

Tanpa mempedulikan Seto yang sedang menggerutu, Ratna langsung menancapkan flashdisk-ya ke laptop berwarna merah maroon tersebut. Sebuah kotak dialog muncul di layar, Ratna langsung meng-yes-kan saja. Tiba-tiba layar dipenuhi oleh animasi jin biru kecil amit-amit menari-nari sambil membawa spanduk bertuliskan “KECIAN DEH LHO..! By ACH4KADUT!” diiringi dengan lagu dangdut
“Judi”-nya Rhoma Irama.

Mata Seto terbelalak, ia langsung mencabut flashdisk milik Ratna. Jari-jarinya langsung menari di papan ketik.

“Flashdisk lu tadi dari laptopnya si Azhari, ya?” tanya Seto.

“Iya, emangnya kenapa?” jawab Ratna.

“Aduuh, laptopnya itu virusan! Segala macam virus ada.

Aduh, gimana nih,” keluh Seto.

“Emangnya laptop lu ga ada antivirusnya?” tanya Ratna.

“Ada, tapi lupa gue update,”

“Jiah, ya udah data presentasi kita selamat, nggak?”
Seto diam. Ia kemudian mengakses folder tempat data tugasnya ia simpan. “Bagus, masih selamat,” ucapnya dalam hati.

Namun satu per satu ikon-ikon yang ada pada foldernya terhapus secara otomatis hingga bersih. Tak satu pun file yang tersisa. Layarnya kemudian padam. Laptop mati mendadak.

“Jadi…, kayaknya lu harus buat lagi deh,” ucap Ratna dengan nada suara yang lemah.

Mata Seto memerah, bibirnya ia kulum seolah sedang mengunyah. “TIDAAAAK…!” teriaknya.


Entries dan komentar feeds.