The Legend of The Blue Eyes Power

Februari 14, 2010 pukul 1:29 am | Ditulis dalam Bahasa, Uncategorized | Tinggalkan komentar
Tag: , , , , , , , , , ,

Awal dari sebuah kejadian yang akan mengubah seluruh dunia. Dimulai dari sebuah hari yang penuh darah dan debu di sebuah kota yang ramai.

Tidak ada bom, tidak senjata api, tidak ada pesawat terbang, dan tidak ada persenjataan canggih yang ikut serta dalam pertarungan yang penuh bau darah dan burung-burung yang bermandikan darah di udara karena semburan cairan manusia itu menyembur hingga ke awan.

Akn tetapi…, dapatkah kalian membayangkan akibat perang itu? Jutaan umat manusia harus hilang dari muka bumi. Jasad mereka berserakkan di mana-mana. Sungguh malang, yang mereka hadapi bukanlah serbuan pasukan dari negara-negara sekutu atau pun negara-negara kolonial yang haus akan kekuasan dan penuh kedengkian mereka dengan senjata pemusnah di gudang belakang rumah mereka. Akan tetapi…., mereka adalah….

Selamat datang di kota yang telah mati ini. Kota Marwa, sebuah kota yang di mana hidup orang-orang yang saleh dan salehah. Hidup dengan damai bersama penduduk lainnya di provinsi tersebut. Kota ini berbatasan langsung dengan desa Aswa. Wilayahnya lebih besar dari kota Marwa, akan tetapi penduduknya masih sederhana dan arus perubahan agal lambat menresap ke tempat ini.

Selamat datang di kota yang telah mati ini. Kota Marwa. Di sini kau tidak akan menemukan apapun selain mayat-mayat yang telah memperjuangkan tempat tinggal mereka. Musuh telah pergi. Yang dicari bukan di sini. Musuh yang datang tadi pagi. Hanya lima orang. Dan mereka memiliki bola mata yang aneh. Berwarna dan bersinar, walaupun di siang hari. Bagaikan mata kucing dan anjing yang mengincar mangsa di hutan.

Sang musuh tahu kalau kota ini hanya sebuah benteng dari tempat yang mereka incar. Kaki-kaki setan nan busuk itu telah menginjakkan kakinya sebagian di desa Aswa. Pertempuran pun mulai kembali. Para pejuang desa bertarung lebih gigih daripada penduduk kota itu. Walaupun tanpa senjata api di tangan dan alat komunikasi di telinga, akan tetapi mereka memiliki rasa juang yang tinggi.

Mereka bertarung dengan kekuatan luar dalam mereka. Roh-roh halus ikut membantu, karena memang kelima manusia laknat ini membabat habis makhluk hidup, baik yang tampak maupun gaib.

Para pejuang desa tahu siapa yang mereka lindungi. Mereka harus mengorbankan jiwa dan raga mereka. Para Jin dan makhluk halus lainnya pun tahu apa yang penduduk desa lindungi dan apa yang harus mereka lindungi. Yaaah…, jangan berharap kau bisa menyaksikan iblis dan seluruh Jin bertarung bersama pejuang desa karena hanya Jin yang beriman sajalah yang membantu mereka.

Kelima manusia itu sadar kalau mereka tidak bisa melanjutkan pertarungan. Mereka lari terbirit-birit dengan tubuh hancur lebur, hancur dalam arti sesungguhnya. Beberapa orang lari tanpa kaki dan kepala yang hilang sebagian, dua di antara mereka, lari dengan dada yang hancur hingga tulang-belulang mereka berayun-ayun dan menimbulkan bunyi saat mereka lari. Sedangkan yang satunya lagi, yang lebih muda, lari hanya tubuh dan kepala yang sudah tak berupa lagi.

Pejuang desa menang. Seluruh desa terselamatkan, untuk saat ini

Tabib-tabib desa berjalan di reruntuhan desa Marwa. Para penduduk desa Aswa bahu membahu menggali liang lahat untuk mereka yang berjuang demi tanah air mereka. Pasukan-pasukan berpatroli di daerah mereka.

Tidak ada satu penduduk desa pun pada saat itu berada di rumah, di sawah, di kebun, dan di tempat lain. Mereka sibuk mengurus jenazah yang berserakan di mana-mana di kota itu.

Suara isak tangis terdengar dari reruntuhan kota itu. Semuanya terkejut dan heran, siapa yang menangis? Tidak ada satu pun penduduk desa yang memiliki hubungan khusus dengan penduduk kota Marwa ini. Maka beberapa pasukan dan ibu-ibu yang prihatin mencari arah tangisan yang pilu itu.

Anak yang berbakti dan sayang pada orang tuanya. Ia memeluk erat jasad kedua orang tuanya. Air matanya membasahi lantai. Ia menangis darah.

Seorang pasukan datang dan berusaha membujuknya agar melepaskan jasad kedua orang tuanya. Anak itu menggeleng dan terus saja menangis. Prajurit itu tersenyum. Ia mengulurkan tangannya dan mengusap-usap rambut anak itu.

“Sudahlah, mungkin ini adalah akhir bagi mereka, namun tidak bagimu, Nak,”

Kata-kata itu mengusik hati kecil sang anak. Teringat akan apa yang dikatakan ayahnya beberapa hari lalu saat ia kehilangan kelinci kesayangannya.

“Kau, seperti ayahku. Siapa namamu?” tanya sang Anak.

“Aku, Kormam,”

“Nama ayahku juga Kormam, kenapa sama ya?”

Prajurit itu tersenyum. “Sekarang akulah ayahmu yang baru,”

“Lalu, ayahku dan ibuku ini…?”

“Mereka telah pergi, Nak,”

“Kemana?”

“Ke tempat di mana nanti kita juga bisa ke sana, Nak,”

“Apakah jauh?”

“Tidak jauh dan tidak pula dekat, Nak,”

“Apa aku bisa bertemu dengan mereka nanti?”

“Tentu saja, tapi bukan sekarang,”

“Kapan?”

“Nanti,”

“Nanti?”

“Ayo, sekarang ikut bersama ayahmu yang baru ini pulang ke rumah barumu,”

Pasukan itu membuka pelukannya. Anak itu menerimanya dengan ragu.

Kejadian yang membuat kaum hawa yang ada pada saat itu telah lebih dari cukup untuk membuat hati mereka pilu dibuatnya.

Lelaki itu membawa pulang anak barunya. Dalam hatinya ia berucap. “Subhanallah, anak ini adalah kunci pembuka dan kunci penutup peperangan ini, Ya Allah! Maka selamatkanlah dia!”

Kejadian ini segera dilupakan oleh penduduk desa. Mereka harus melupakan kejadian ini untuk maju. Sedangkan anak itu harus menjalani hidupnya yang baru. Dan kini…, ia telah menginjak remaja. Dan…, ia harus menghadapi tugasnya sebagai kunci penutup peperangan ini. Sebagai seorang bangsawan…

Untuk sambungannya…, silakan baca di sini 😀
The Legend of The Blue Eyes Power


Entries dan komentar feeds.